Sunday, July 19, 2009

ALAM DAN BUDAYA

ALAM DAN BUDAYA

Kebenaran, kebesaran, hukum alam, kekuatan, kesucian, tapa, kebahagiaan spiritual, dan persembahan menopang bumi. Semoga bumi ini, penguasa dari apa yang telah dan akan ada, menyediakan kita wilayah yang luas.
(Atharva Veda, XII. 1: 1)

Sejarah mencatat bahwa sikap manusia terhadap lingkungannya dibedakan menjadi dua, yakni dominasi eksploitatif dan penghormatan. Etik Veda terhadap alam menggambarkan manusia dan lingkungan adalah dua agen yang hidup berdampingan dan saling menguntungkan. Concern terhadap perlindungan dan konservasi alam didasari oleh hukum alam yang mutual dependence dan saling memberi. Cara kita memperlakukan alam sama dengan cara bagaimana alam memperlakukan kita. Etika Vedik juga menyatakan bahwa kita hidup dibagian belahan bumi ini beserta dengan tindakan aktif kita adalah sebuah rantai sebab akibat. Ketika kita mampu melindungi dan berbagi kebaikan dengan alam, maka dampaknya adalah keindahan dan keragaman hayati menjadi hakiki dan keseimbangan ekosistem dapat dipertahankan.
Jika kita melihat alam sebagai objek eksploitasi, sebagai komoditas dagang, maka sikap kita ini bisa dikatakan bertentangan dengan hidup. Kita menciptakan kekacauan, chaos, kekeliruan (anrta) dan mengantarkan kita pada kehancuran. Tindakan kita melawan kehidupan yang alami. Demikian juga sebaliknya, apabila kita mampu menyadari bahwa alam dan diri kita adalah saling berdampingan dan saling memerlukan satu dengan yang lain, maka yang terjadi adalah penghormatan terhadap alam. Alam memberikan berbagai komoditi untuk kebutuhan hidup kita dan sebagai gantinya, kita menghormati alam dengan jalan melestarikannya. Ekspresi kegembiraan manusia atas hubungan intimnya dengan alam menjadi dasar munculnya perayaan-perayaan. Perayaan ini diekspresikan dengan banyak cara seperti pemujaan, penyucian, pembacaan mantra-mantra suci, persembahan dan lain sebagainya kehadapan Ibu Pertiwi.
Berbagai aktivitas inilah yang memunculkan kebudayaan. Budaya primitive yang pertama kali muncul dalam sejarah manusia adalah aktivitas manusia atas hubungannya dengan alam. Budaya ini kemudian mengalami perkembangan sesuai dengan jaman. Ketika jaman berubah, budaya juga mengalami perubahan, tetapi spirit budaya tetap sama yakni keintiman kita dengan alam. Budaya yang lestari artinya budaya yang tidak melepaskan dua unsure pokok yang menyebabkan kebudayaan itu berkembang, yakni manusia dan alam serta hubungan intimnya yang saling memberi kemesraan, kehangatan, dan perlindungan. Ekspresi hubungan intim ini melahirkan suatu kreativitas budaya dimana setiap tempat dibelahan bumi ini memiliki gaya dan ciri khasnya sendiri-sendiri. Masing-masing budaya unik disesuaikan dengan masyarakat dimana budaya itu berkembang dan bagaimana masyarakat itu mengekspresikan keintimannya dengan alam.
Oleh karena itu, tidak salah, dan bahkan hampir semua setuju bahwa kita dewasa ini penting mempertahankan budaya yang telah lestari sejak dulu sebagai ciri khas dan keunikan masing-masing masyarakat pendukungnya. Seperti di Bali misalnya, pelestarian Budaya adalah wacana yang sangat gencar dikumandangkan. Ini adalah bentuk proteksi atas ketakutan kita akan punahnya budaya yang Adi Luhung. Bali menjadi unik dimata dunia karena kemampuan masyarakatnya mempertahankan budayanya sendiri. Berbagai agenda dilaksanakan baik oleh masyarakat pendukung maupun pemerintah.
Semua itu baik dan sesungguhnya kalau dilihat dari hukum rta, sepanjang manusia/ masyarakat di suatu lokasi mampu menjaga hubungan intimnya terhadap alam, maka ciri khas budayanya akan bisa dipertahankan. Namun wacana pelestarian budaya di Bali dibarengi dengan wacana kerusakan dan pemanfaatan alam yang melebihi ambang batas, menjadi sangat kontras dan tidak mungkin. Pelestarian budaya dan perusakan alam tidak akan pernah integral. Jika alam rusak budaya juga akan rusak dengan sendirinya.
Budaya yang lestari adalah ekspresi murni dari hubungan intim manusia dengan alamnya. Apalagi wacana pelestarian ciri khas budaya Bali sebagai ajang komoditas industri, maka budaya yang dipertahankan tidak memiliki akar. Budaya yang ada hanya periphery dan komoditas untuk diperjualbelikan. Budaya itu hanya bayangan, sedangkan yang aslinya telah hilang. Tidak salah mendapatkan keuntungan secara materi dari ciri khas budaya itu, namun budaya itu mesti harus asli, sebab jika budaya hanya bayangan, maka yang ada hanyalah mempercepat kerusakannya. Pikiran kita bukan pada ekspresi murninya, tetapi nilai jual nominalnya. Budaya yang pamrih adalah budaya yang ada diambang kehancuran.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta

No comments:

Post a Comment