Sunday, July 19, 2009

HARUSKAH HANCUR DULU?

HARUSKAH HANCUR DULU?

Pertiwi adalah Ibu, dan aku adalah putranya
(Atharva Veda, XII.1: 12)

Etik Veda terhadap alam muncul dari pengalaman awal manusia sebagai anak dari Pertiwi. Pertiwi adalah murni, menyenangkan, ibu yang memberikan hidup. Beliau cantik, subur, pemberi nutrisi, dan murah hati. Beliau sangat dekat dengan umat manusia sedekat kulitnya sendiri. Keseluruhan eksistensi manusia sepenuhnya tergantung padanya. Manusia adalah bagian dari bumi. Bumi adalah rumahnya. Bumi adalah Maha Penyayang dan Maha Pengasih. Kasih sayang-Nya tiada terbatas kepada siapa saja.
Hubungan antara kita dengan alam, oleh Veda dinyatakan sebagai Ibu dan anak. Ibu melahirkan dan menyayangi anaknya dan anak menghormati dan menyayangi ibunya. Hubungan ibu dan anak tidak hanya hubungan dua individu yang memiliki karakter berbeda. Ibu dan anak adalah dua individu yang sesungguhnya satu, sebab anak lahir dari kandungan ibunya. Hubungan psikologis yang kuat ini menjadikan segala sesuatunya berjalan dengan harmonis. Sepanjang kita adalah anak dari Ibu Pertiwi, maka penghormatan padanya tidak akan pernah berhenti. Kita akan dengan setia menjaganya dan tidak pernah punya keinginan untuk memperkosanya, mengeksploitasinya.
Namun apa yang terjadi sekarang ini jauh dari apa yang dinyatakan oleh Veda. Hubungan kita dengan alam menjadi hubungan antara penguasa dan budak. Kita adalah penguasa atas bumi yang kita pijak. Alam adalah instrument yang dapat kita gunakan kapan saja. Kita bisa mengekspoitasi alam dengan sebebas-bebasnya untuk kepentingan kita. Sebagai akibatnya berbagai isu lingkungan muncul ke permukaan dan manusia baru menyadari kekeliruannya. Apa yang kita gali dari alam dengan alasan untuk mencapai kemakmuran sebanyak-banyaknya tidak bisa bertahan lama. Bahkan kondisi yang kelihatannya makmur malah berubah menjadi petaka.
Kira baru mulai menyadari bahwa kemakmuran tidak dapat kita capai berdasarkan banyaknya komoditas barang yang kita consume. Banyaknya konsumsi tidak menjamin bahwa suatu masyarakat atau Negara disebut makmur, sebab dibalik semua itu tersimpan bahaya yang mengerikan. Akhir dari kemakmuran yang mereka capai adalah kehancuran. Banyak filsuf yang kemudian memberikan kontribusi pemikiran atas katastropi ini. Lembaga-lembaga yang bertema lingkungan pun banyak yang muncul dengan tujuan yang sama untuk memberikan kontribusi menyelamatkan bumi ini dari kehancuran.
Meskipun demikian, bentuk eksploitasi alam di berbagai belahan dunia tidak pernah surut. Berbagai eviden dapat kita lihat sampai sekarang. Di Indonesia, hutan di sepanjang Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi setiap tahun mengalami pengurangan. Pencemaran air, tanah dan udara hampir terjadi di setiap kota. Pemanfaatan lahan untuk membangun perumahan dan gedung melebihi daya dukung tanah untuk keberlangsungan hidup manusia. Bali, terutama Bali Selatan dalam kurun waktu 30 tahun terakhir ini pembangunannya sangat pesat. Pembangunan disini banyak mengalihfungsikan lahan dari lahan produktif untuk pembangunan. Demikian banyak lagi contoh yang menjadi indikasi bahwa manusia secara penuh belum menyadari bahwa apa yang diperbuatnya membahayakan dirinya sendiri secara umum.
Apakah tidak mungkin kita bisa memperbaikinya? Bagaimana supaya kita semua sadar akan semua bahaya itu? Mungkinkah nantinya setiap generasi yang lahir memiliki bekal pengetahuan yang cukup akan pentingnya melestarikan lingkungan? Atau untuk membentuk masyarakat yang baru, apakah mesti harus hancur dulu? Jika memang harus hancur dulu, maka segala upaya yang kita lakukan untuk memperbaiki bumi yang sudah rusak tidak akan ada manfaatnya. Yang diperlukan bukan pengetahuan untuk strategi menyelamatkan alam ini, tetapi pengetahuan yang mampu menguatkan pikiran manusia untuk siap menerima kehancurannya. Seperti perang Mahabharata. Pengetahuan akan pentinngnya damai tidak berarti saat telah berada di tengah-tengah medan pertempuran. Pengetahuan yang berarti saat itu adalah bagaimana sesungguhnya kematian dan cara menghadapi kematian itu dengan baik. Jika perang adalah pasti, maka cara-cara damai tidak diperlukan lagi. Demikia juga jika kehancuran alam adalah pasti, maka pengetahuan tentang ekologi tidak diperlukan. Yang diperlukan adalah pengetahuan bagaimana kita dapat menghadapi kehancuran itu dengan senyuman.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta.

No comments:

Post a Comment